Desa
Ciptagelar terletak di selatan gunung Halimun, perjalanan ke desa ciptagelar
ditempuh melalui pelabuhan ratu dan apabila ingin mencapai desa ciptagelar
dibutuhkan kendaraan yang dapat berjalan di medan yang bebatuan karena medannya
yang berbatu, berlubang, dan banyak terdapat lembah maka butuh perjuangan untuk
mencapai ke desa ciptagelar, perjalanan dari pelabuhan ratu ke ciptagelar
membutuhkan waktu kurang lebih sekitar 3 jam. Sebelum sampai ke desa ciptagelar
kita juga akan menjumpai desa ciptarasa yang merupakan setengah perjalanan
untuk sampai ke desa ciptagelar. Desa ciptarasa merupakan desa pertama
ciptagelar, jadi sebelum ada desa ciptagelar sudah ada terlebih dahulu desa
ciptarasa, di desa ciptarasa juga kita harus berkunjung kerumah warga. Desa
ciptagelar memiliki pemimpin bernama Abah Anom, di desa ciptagelar terdapat
tradisi disetiap musim panen rakyat harus memberikan semacam bayaran ke Abah
Anom atau kepada anaknya yaitu berupa lumbung padi tetapi lumbung padi tersebut
akan dibagikan kembali ke masyarakat atau penduduk desa ciptagelar tidak untuk
Abah Anom dan anaknya pribadi, dan apabila kita berkunjung ke desa ciptagelar
dan kita memberikan sesuatu kepada Abah Anom atau anaknya maka pemberian
tersebut juga akan dibagikan kepada penduduk atau warganya. Pada saat di desa
ciptagelar kita akan menemukan banyak lumbung padi dimana-mana, itu dikarenakan
lambang dari desa ciptagelar itu sendiri adalah lumbung padi. Di desa
ciptagelar penggunaan teknologi cukup minim, bahkan penduduk setempat
menggunakan atau mengandalkan TV lokal mereka yang diberi nama CIGA dimana
kameramen dari TV tersebut adalah pelajar desa itu sendiri. Kesepuhan adat desa
ciptagelar memiliki struktur sosial yang mapan, karena sudah ada sejak ratusan
tahun yang lalu. Desa ciptagelar seperti negara kecil dan padi sebagai simbol bagi
kehidupan masyarakat ciptagelar. Pada proses sebelum masuk ke dalam lumbung
padi kita harus menyerahkan sesembahan biasanya uang atau sebungkus rokok. Di
desa ciptagelar para wanita haru menggunakan baju kebaya dan bawahan sarung
atau sinjang, dan bagi laki-laki harus menggunakan ikat kepala. Di desa cipta
gelar terdapat sebuah acara yang biasa disebut seren taun atau bisa disebut
acara thanksgivingnya ciptagelar, acara seren taun adalah acara untuk merayakan
atau mensyukuri panen dalam satu tahun. Acara seren taun diselenggarakan di 3
desa yaitu desa sinar resmi, ciptarasa, dan ciptagelar. Desa cipta resmi
merupakan cikal bakal dari desa ciptarasa dan ciptagelar.
Bahasa
merupakan alat komunikasi manusia satu sama lain baik secara lisan
maupun tulisan. Bahasa manusia yang digunakan di dunia ini sangat
bermacam-macam, bahkan di Indonesia sendiri sangat banyak sekali
ragam bahasa. Mmerupakan hasil daya kreasi manusia yang
menggunakannya. Jawa Barat merupakan suatu wilayah yang kebanyakannya
mengunakan bahasa sunda tidak terkecuali di Desa Ciptagelar. Mereka dalam
kehidupan sehari-harinya banyak menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa
komunikasi antar individu.
Bahasa Sunda merupakan bahasa yang
diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda dalam berbagai keperluan komunikasi
dalam kehidupan mereka. Tidak diketahui kapan bahasa ini lahir. Pastinya Bahasa
Sunda telah digunakan secara lisan oleh masyarakat Sunda jauh sebelum
naskah-naskah sunda kuno atau prasasti Kerajaan-kerajaan sunda diciptakan.
Masuknya teknologi ke desa
Ciptagelar tidak menghilangkan tradisi lama nenek moyang mereka. Terutama dalam
bidang pengetahuan pertanian. Tradisi bertanam mereka masih memegang tradisi
leluhur. Tanpa obat-obatan kimiawi dan selalu berhasil panen setiap tahun.
Dengan memberikan kesempatan untuk bernapas sejenak kepada bumi yang
menghidupkan padi-padian maka yang terjadi adalah panen yang selalu berhasil
dan leuit-leuit (tempat penyimpanan padi) yang tidak pernah dihampiri hama. Bagi
orang Sunda yang hidup di pedesaan, leuit memang bukan sesuatu yang
asing. Meski sekarang fungsinya sudah tergerus zaman. Di masa lalu, leuit
punya peran vital, sebagai gudang penyimpanan gabah atau beras hasil panen.
Pada saat musim paceklik, simpanan gabah itu ditumbuk untuk kemudian dijadikan
pemenuhan makan sehari-hari. Di zaman modern sekarang leuit nyaris
punah. Apalagi di daerah perkotaan, orang lebih menyukai sesuatu yang serba
instan. Dikatakan “nyaris punah”, karena memang masih ada sebagian warga yang
tetap mempertahankan fungsi leuit. Salah satunya adalah warga adat yang
menempati kaki Gunung Halimun, sebuah kawasan yang jadi simpul perbatasan tiga
kabupaten, Sukabumi, Bogor, dan Lebak (Banten). Bagi mereka yang memang jauh
dari ingar-bingar dan gemerlap kota, keberadaan leuit sangat vital
sebagai bumper ketahanan pangan warga. Saking pentingnya, ketika seorang
bayi lahir, maka yang pertama dijadikan “hadiah” adalah membangun leuit.
Begitu juga saat seseorang menikah, yang pertama harus diurus adalah leuit.
“Orang kota, kalau anak lahir biasanya langsung dibelikan boks bayi. Tapi bagi
warga Kampung Adat Halimun, yang pertama diberikan kepada bayi baru lahir
adalah leuit”. Leuit biasanya dibangun tidak jauh dari rumah
pemiliknya. Ukurannya bervariasi, bergantung status sosial pembuatnya. Bagi
kebanyakan warga, ukurannya biasanya 4 x 5 meter, sedangkan bagi orang kaya
bisa lebih luas lagi, 8 x 10 meter. “Sebenarnya ukurannya bukan dalam meter,
tapi daya tampung. Satu leuit bisa menampung 500 – 1.000 ikat pare
gede (jenis padi yang biasa ditanam warga setempat),” katanya. Jika
dikonversikan, satu ikat pare gede setara dengan 5 kg. Jadi, leuit
yang dibangun warga bisa menampung 2,5 ton sampai 5 ton padi. Bagi penduduk
setempat, tidak ada jenis padi yang ditanam selain pare gede. Untuk
jenis ini, biasanya panen satu tahun sekali. Meski begitu, tiap kali panen
jarang gagal seperti yang biasa terjadi di daerah lain. Dalam satu kali musim
panen, satu hektare sawah bisa menghasilkan sekira 5 ton lebih gabah. Pola
tanam yang dianutnya dengan sistem pola tanam serentak. Tujuannya agar bisa
mengurangi serangan hama. Meski satu tahun sekali, hasilnya cukup untuk dua
tahun.
Link
Video :